Jika Aku Memimpin Negeri Ini, Anak SD Sudah Melek Perubahan Iklim
Pertama kali saya mengenal istilah perubahan iklim adalah saat saya duduk di Bangku SMA. Waktu itu, membahas perubahan iklim menjadi tugas speaking bahasa inggris untuk ujian akhir sekolah. Jujur, saat itu sepertinya baru pertama kalinya saya memahami mengenai perubahan iklim, efek rumah kaca, pemanasan global, dan lain-lain. Hanya sesaat dan hanya untuk kepentingan tugas, saya mulai menyadari bahaya-bahaya dari perubahan iklim. Kemana saja saya? Mungkin saja hal ini sudah pernah dibahas dari saya SMP atau mungkin SD, tapi tidak menempel di otak saya? Atau, karena tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dengan teman-teman? Atau memang tidak diajari?
Sudah hampir 10 tahun berlalu, ternyata masalah perubahan iklim ini masih ada. Jadi, mengapa perubahan iklim tidak membaik? Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menangani perubahan iklim? Apakah peran saya untuk menghentikan perubahan iklim di Indonesia? Apakah selama ini saya salah karena diam saja?
Sebelumnya, kita berkenalan dulu dengan perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan jangkan panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. (sumber: wikipedia)
Apa bedanya perubahan iklim dan pemanasan global?
Menurut buku Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia karya Edvin Aldrian, Mimin Karmini, dan Budiman (mengutip dari idntimes.com), perubahan iklim adalah pola dan intensitas unsur iklim yang berubah pada kurun waktu yang bisa dibandingkan--rata-rata 30 tahun. Sedangkan perubahan iklim adalah perubahan pada cuaca rata-rata. Contohnya adalah seperti pola musim yang berubah, meluasnya daerah rawan kekeringan. Bisa dibilang global warming atau pemanasan global lah yang menyebabkna perubahan iklim. Bagaimana tidak, jika bumi terus-terusan bertambah panas, ekosistem darat dan laut akan berubah, proses hujan, fotosintesis akan berubah pula dan menyebabkan perubahan iklim.
Apa saja dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim?
Mengetahui dampak-dampak mengerikan itu, saya menjadi merasa bersalah apabila saya tidak bertindak. Iklim akan semakin berubah buruk. Apa iya satu individu seperti saya bisa membawa perubahan? Saya mulai mempelajari lebih lanjut mengenai perubahan iklim, dan apa saja yang menyebabkannya serta apa yang bisa kita lakukan. Saya mencoba mulai menerapkan hidup minim sampah karena saya mengetahui dampak sampah terhadap bumi ini.
Tapi, ternyata perubahan satu individu seperti saya masih dirasa kurang, saya mulai mengajak teman-teman untuk ikut berpartisipasi dalam menyelamatkan lingkungan. Tapi tetap saja masih merasa kurang. Meskipun sepertinya gerakan para aktivis lingkungan sudah mulai gencar dan booming 3 tahun ke belakang, tetapi masih banyak hal yang sulit dilakukan untuk mencapai target menghentikan pemanasan global dan perubahan iklim. Lantas siapa yang bisa berperan lebih besar lagi untuk menghentikan perubahan iklim di Indonesia?
Ternyata, besar sekali peran pemimpin dalam negeri dalam mengatasi perubahan iklim suatu negara, yang bahkan dapat berdampak secara global. Karena pemimpin memegang kebijakan besar dan penting yang ternyata dampaknya sangat terasa untuk lingkungan. Sayangnya, khususnya di Indonesia sendiri, masalah terkait iklim dan lingkungan sangat minim pembahasan dan jarang menjadi prioritas. Seringkali kalau tidak bahas ekonomi lagi, ya kesehatan, atau ekonomi terus ya? hehe.
Padahal, tidak ada ekonomi yang maju jika bumi dan sumber dayanya tidak terjaga, seperti kualiatas dan kuantitas produksi pangan di Indonesia semakin menurun akibat perubahan iklim. Tidak ada perbaikan kesehatan masyarakat jika banyak bencana alam, polusi, masalah sampah dimana-mana, sungai yang tercemar, dan infeksi yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Seandainya saya menjadi pemimpin, apa yang bisa saya lakukan untuk Indonesia?
Apa peran generasi muda seperti saya untuk bisa memperbaiki perubahan iklim yang semakin memburuk? Andai saya jadi pemimpin negeri ini, berikut ini hal-hal yang akan saya lakukan demi Indonesia dengan iklim yang lebih baik.
1. Menangani Masalah Sampah dengan Serius
Indonesia adalah negara penyumbang sampah plastik terbanyak ke-2 sedunia. Selain itu, Indonesia memiliki Tempat Pembuangan Akhir sampah (TPA) terbesar di dunia, yakni Bantar Gebang. Hal-hal itu bukanlah sebuah prestasi yang baik. Tandanya, Indonesia memproduksi sampah yang sangat banyak dan tidak mampu mengolahnya. Pengelolaan sampah di Indonesia belum terstruktur dan teknologinya jauh tertinggal dibandingkan negara lain bahkan di Asia. Jangankan memilah sampah, membuang sampah pada tempatnya saja belum menjadi budaya dan keharusan di Indonesia.
Padahal, sampah menyumbang peningkatan perubahan iklim di Indonesia. Mengapa begitu? Sampah yang tidak terolah dan menumpuk di TPA, apalagi sampah tercampur-campur baik sampah organik dan anorganik, menyababnya keluarnya gas metana yang menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global (Jakarta.com).
Apa peran generasi muda sebagai pemimpin untuk bisa mengatasi masalah tersebut? Tentu saja membuat sistem pengelolaan sampah yang baik. Selama hidup saya di Indonesia, tidak pernah ada peningkatan pengelolaan sampah yang signifikan. Kita terus saja membuang sampah setiap hari dengan kantong plastik, menyetor ke tukang sampah, dan tukang sampah mengantarkannya ke TPA. Meski rumah kita terlihat bersih, tapi kita hanya memindahkan sampah kita saja, bukan benar-benar membuangnya. Padahal, hal ini hanya menumpuk masalah yakni di TPA. Bahkan pernah kejadian TPA Leuwi Gajah, Bandung meledak dan memakan korban jiwa. Lihat? Sampah kita bisa membunuh orang lain.
Kabar sedihnya, ternyata Indonesia menerima impor sampah dari negara-negara maju yang katanya "bersih" itu. Padahal Indonesia sendiri memiliki banyak sampah yang belum terolah dengan baik dan TPA nya semakin penuh. Entah untuk latar belakang politik apa, tetapi, seharusnya Indonesia mengutamakan pengolahan sampah di negerinya sendiri.
Ah, andai saya menjadi pemimpin negeri ini.
2. Melindungi Hutan Dengan Memberantas Korupsi
(sumber gambar: golonganhutan.id)
Indonesia disebut sebagai salah satu paru-paru dunia karena memiliki hutan yang luas, tapi sayangnya, sekarang sudah bukan begitu. Hutan-hutan di pulau pulau besar Indonesia sudah mulai “botak” karena pembangunan. Masalahnya, hal ini bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang-orang "penting" yang merasa memiliki kekuasaan atas semua sumber daya alam di Indonesia.
Padahal, hutan merupakan ekosistem yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas iklim negara, bahkan dunia. Semua orang pasti tahu, hutan menjadi sumber oksigen utama dan penyerap polusi udara. Sayangnya kecintaan manusia terhadap hutan tidak sebesar kecintaan terhadap uang. Hutan di Indonesia telah banyak di eksploitasi menjadi industri. Sayangnya industri yang dilakukan merupakan industri kotor dan tidak ramah lingkungan. Selain itu, mirisnya banyak terjadinya kasus korupsi sumber daya alam yang mengorbankan sebagian besar hutan di Indonesia.
Ah, andai saya jadi pemimpin Indonesia.
2. Menanamkan Aksi Cinta Lingkungan ke dalam Sistem Pendidikan Sejak Dini
(sumber gambar: P2KH)
Di beberapa sekolah di Indonesia mungkin ada pelajaran mengenai lingkungan hidup. Contohnya, dulu di Jakarta ada pelajaran yang namanya PLKJ, Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta. Saya kurang tahu di daerah lain, namun kata suami saya yang selama ini sekolah di Bandung, tidak ada pelajaran tentang lingkungan hidup. Walaupun ada, tapi memang kebanyakan semua itu hanya sebatas teori, jarang sekali ada praktek untuk benar-benar beraksi menyelamatkan lingkungan. Kecintaan terhadap lingkungan hanya sebatas pelajaran, atau bahkan hanya ajang perlombaan. Apakah guru-guru di Indonesia sendiri cinta lingkungan atau mencontohkan aksi cinta lingkungan?
Lihat lingkungan sekolah. Berapa banyak sekolah yang melakukan pemilahan sampah di sekolah? Berapa banyak sekolah yang menyediakan air galon untuk isi ulang sehingga warga sekolah tidak perlu membeli botol plastik? Saya sendiri tidak mengalami sekolah yang seperti itu meski saya selalu sekolah di sekolah negeri favorit di Jakarta dulu.
Andai saja, sejak SD, sebagai tingkat awal wajib belajar sekolah, anak-anak diberi pemahaman pentingnya memilah sampah, dan bukan hanya sekedar teori, tapi praktik sehari-hari di sekolah. Pasti mereka lebih terbiasa mengolah sampah rumah tangga mereka kelak mereka besar nanti. Andai saja, sejak SD anak-anak lebih banyak diberi kesempatan menjelajahi alam, tidak hanya saat studi wisata, tapi sebagai bagian dari kegiatan yang rutin, tidak perlu jauh, misal mengurus kebun dan pohon-pohon di sekolah, cukup mendekatkan anak-anak agar "kenal tanah" dan berani memegang tanaman untuk menumbuhkan rasa cinta pada lingkungan hidup. Dengan begitu, mereka pun tumbuh dewasa mencintai lingkungan dan bisa mengajarkan anak-anak mereka kelak sedari kecil di rumah.
Dengan seperti itu, bahkan anak-anak kecil seusia SD pun sudah mencintai lingkungan dan paham mengenai pentingnya menghentikan perubahan iklim. Sehingga sejak kecil mereka bisa mempersiapkan untuk menjadi pemimpin yang peduli dan memperioritaskan lingkungan. Coba lihat saja Gretha Thunberg, aktivis lingkungan asal Swedia yang mulai melakukan protes mogok sekolah demi isu lingkungan sejak usia 15 tahun. Andai anak-anak seperti dia yang menjadi pemimpin negeri ini, bayangkan jika sejak kecil anak-anak sudah ditanamkan pemahaman terkait krisis perubahan iklim dan kecintaan terhadap lingkungan, mereka bisa menjadi the next Gretha Thunberg yang bisa membawa perubahan di Indonesia.
Ah, andai saya memimpin negeri ini.
Sudahlah, stop berandai-andai! Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan sebagai individu, sekarang juga!
Peran Generasi Muda dalam menangani Perubahan Iklim Indonesia.
1. Menerapkan gaya hidup minim sampah
Seperti yang tadi dijelaskan, sampah termasuk penyumbang pemanasan global dan perubahan iklim yang cukup besar. Sebagai individu, kita bisa kok melakukan perubahan. Mulai dari melakukan gaya hidup minim bahkan nol sampah. Tujuannya adalah agar sampah bisa dikelola dengan baik dan tidak menumpuk di TPA dan menjadi penyumbang pemanasan global.
2. Menanam, menyelamatkan dan berdonasi pohon
Pohon adalah sumber kehidupan. Tanamlah minimal satu pohon di rumah, atau di lingkungan sekolah, kantor dan lainnya sebagai penyumbang kehidupan yang berupa oksigen. Jika tidak, teman-teman bisa berdonasi pohon melalui situs-situs donasi pohon. Teman-teman juga bisa membantu menyuarakan dan menyelamatkan hutan Indonesia dengan mendukung, menandatangani petisi dan menambah informasi melalui Golongan Hutan.
3. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor
Polusi juga menyebabkan pemanasan global tentunya. Untuk teman-teman yang seringkali menggunakan kendaraan pribadi hanya untuk sendiri, lebih baik mulai beralih ke transportasi umum! Bahkan di masa pandemi ini mulai yang kembali menggunakan sepeda atau jalan kaki, selain lebih sehat, juga sangat berkontribusi dalam mengurangi polusi. Paling tidak untuk tujuan yang dekat-dekat seperti supermarket, rumah dalam satu daerah, coba biasakan untuk tidak memprioritaskan kendaraan bermotor sebagai alat transportasinya.
4. Kurangi penggunaan listrik
Sumber listrik yang digunakan di Indonesia hampir semua masih menggunakan pembakaran batu bara. Pembakaran itu sendiri sangat besar andilnya dalam meningkatkan pemanasan global. Miris ya, padahal Indonesia merupakan negara khatulistiwa dengan "banjir" matahari sepanjang hari, dan sangat memudahkan untuk menggunakan panel surya sebagai tenaga listrik. Karena itu, teman-teman bisa mengurangi penggunaan listriknya sehari-hari, seperti mematikan lampu, kabel dan alat elektronik yang tidak terpakai, mengurangi penggunaan AC, dan sebagainya.
5. Suarakan!
Generasi muda sekarang yang sangat melek teknologi dan media sosial punya suara emas di dunia maya! Jangan ragu untuk menyuarakan pendapatnya dan menyebarkan edukasi mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim di Indonesia. Your voice matters!
Penulis: Syakira Rahma
www.catatanibun.com
Setuju, kita butuh pemimpin yang peduli lingkungan dan masa depan bangsa ngga sekadar rakus dan memperkaya diri sendiri..miris..
ReplyDelete